Oleh : Syaefudin Simon
Pak AR Fachruddin yang merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah adalah mubaligh terkenal yang tinggal di Yogya. Kerap ceramahnya pak AR disukai umat karena sentilan humornya. Kadang Pak AR itu humornya muncul seketika tanpa disadari sang mubaligh.
Pak AR “pernah terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Sultan Agung (Unisula), Semarang. Namun Pak AR berhenti di tengah jalan.
Ceritanya begini. Ketika Pak AR bertugas di Semarang, sebagai karyawan Departemen Agama, terbersit ingin kuliah lagi. Maklumlah Pak AR belum pernah kuliah. Lalu, Pak AR mendaftar di Unisula.
Setelah formulir pendaftaran sampai ke petugas, Pak AR dipanggil dekan Fakultas Tarbiyah Unisula.
Pak AR mau daftar kuliah di sini? Tanya Dekan.
“Iya Pak. Saya mau kuliah. Agar dapat ijasah sarjana,.”Jawab Pak AR serius.
Pak AR, kami telah rapat membicarakan formulir pendaftaran bapak dengan seluruh staf dosen. Keputusannya, Pak AR ditolak jadi mahasiswa Unisula. Jelas Dekan.
Pak AR pun kaget. Kenapa ditolak?
Kami memutuskan Pak AR jadi dosen di sini.
Ha? Pak AR terkejut. Mau kuliah kok malah diminta jadi dosen.
Ketika Pak AR menceritakan pengalamannya, hadirin pun ketawa terpingkal-pingkal. Tapi Pak AR ndak ketawa. Maklum Pak AR hanya menceritakan pengalaman pribadinya.
Masih cerita Pak AR di Semarang. Banyak tokoh agama, ulama, dan umara di sana yang “kasihan” melihat kehidupan Pak AR di kota besar itu. Di Semarang Pak AR hidup sendirian. Keluarga dan anak-anaknya di Yogya. Gaji dari Depag pas-pasan.
Untuk menghemat, Pak AR kontrak rumah sederhana. Beliau masak sendiri agar irit, sehingga ada sisa uang untuk keluarga di Yogya. Tapi ceramah jalan terus. Meski sering diundang ceramah, hidup Pak AR tetap sederhana. Maklum Pak AR menolak bila dikasih “amplop”.
Suatu hari salah seorang ulama di Semarang yang punya pesantren menawari Pak AR untuk menikah dengan santri putrinya. Tujuannya agar Pak AR yang sibuk kerja dan ceramah di Semarang ada yang ngurus. Ada yang masakin makanan, menyediakan minuman, dan menemani di rumah kontrakan.
Bagaimana Pak AR? Silahkan pilih salah seorang santriwati di pondok pesantren kami. Terserah Pak AR pilih yang mana. Kata sang kyai sambil menunjukkan foto-foto santriwatinya yang cantik-cantik.
Pak AR diam. Lalu menjawab.
“Terimakasih atas perhatiannya kyai. Tapi saya, tidak mau untuk yang ini. Saya punya istri satu saja gak habis-habis. Kenapa harus nambah? Lagi pula, dalam hudup saya, wanita di hati saya hanya satu, Bu Qom.”
Pak AR menolak tawaran kyai tadi. Sang kyai pun terdiam.
Sepanjang hidupnya Pak AR hanya punya satu istri. Dan tidak punya rumah pribadi sampai meninggal. Padahal peluang untuk hudup terhormat menjadi pejabat dan kaya raya terbuka luas di hadapannya.
Pak AR memilih hidup sederhana. Persis seperti pilihan hidup Mahatma Gandhi. Bagi orang seperti Gandhi dan Pak AR, kesederhanaan adalah kemuliaan dan kemewahan. Meminjam kata-kata Buya Syafii Maarif, Pak AR telah berhasil memutus tali yang menjeratnya di bumi. Sehingga Pak AR mudah terbang ke Langit